1. PERBATASAN WILAYAH
NEGARA RI PRJANJIAN
DAN
PERMASALAHAN YANG ADA
Daerah perbatasan di
Indonesia terdiri dari daerah perbatasan darat dan perbatasan laut termasuk
daerah yang terdapat pulau - pulau terkecil. Sebenarnya di tinjau dari nilai
strategis dan potensi kebanyakan daerah perbatasan di Indonesia, mereka
mempunyai keunggulan dan keunikan tersendiri. Daerah perbatasan, termasuk
pulau-pulau kecil terluar memiliki potensi sumberdaya alam yang besar, serta
merupakan wilayah yang sangat strategis bagi pertahanan dan keamanan negara.
Negara
Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak
di antara 6º LU – 11º LS dan 95º BT - 141º BT, antara Lautan Pasifik dan Lautan Hindia,
antara benua Asia dan benua Australia, dan
pada pertemuan dua rangkaian pegunungan, yaitu Sirkum Pasifik dan
SirkumMediterranean.
Indonesia memiliki garis pantai sekitar 81.900 kilometer dan wilayah perbatasan
dengan banyak negara baik perbatasan darat (kontinen) maupun laut (maritim).
Batas darat wilayah Republik Indonesia berbatasan langsung dengan negara-negara
seperti Malaysia, Papua Nugini dan Timor Leste. Perbatasan darat Indonesia
tersebar di tiga pulau, empat Provinsi dan 15 kabupaten/kota yang masing-masing
memiliki karakteristik perbatasan yang berbeda-beda. Demikian pula negara
tetangga yang berbatasan, baik bila ditinjau dari segi kondisi sosial, ekonomi,
politik maupun budayanya. Sedangkan wilayah laut Indonesia berbatasan dengan 10
negara, yaitu India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Republik
Palau, Australia, Timor Leste dan Papua Nugini.
Wilayah perbatasan laut
pada umumnya berupa pulau-pulau terluar yang jumlahnya 92 pulau dan termasuk
pulau-pulau kecil. Beberapa diantaranya masih perlu penataan dan pengelolaan
yang lebih intensif karena mempunyai kecenderungan permasalahan dengan negara
tetangga. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melakukan penyelesaian
masalah garis batas landas kontinen dengan negara-negara tetangga dengan
semangat good neighboorhood policy atau semangat kebijakan negara bertetangga
yang baik, seperti :
1. Indonesia-Malaysia
Kedua belah pihak
bersepakat (kecuali Sipadan dan Ligitan diberlakukan sebagai keadaan status
quo). Pada tanggal 27 Oktober 1969 dilakukan penandatanganan perjanjian antara
Indonesia dan Malaysia, yang disebut sebagai Perjanjian Tapal Batas
Kontinental Indonesia – Malaysia kedua negara masing-masing melakukan
ratifikasi pada 7 November 1969, tak lama berselang masih pada tahun 1969 Malaysia membuat
peta baru yang memasukan pulau Sipadan, Ligitan dan Batu Puteh (Pedra blanca)
tentunya hal tersebut membingungkan Indonesia dan Singapura dan pada akhirnya Indonesia maupun
Singapura tidak mengakui peta baru Malaysia tersebut.
Kemudian pada
tanggal 17 Maret 1970 kembali ditanda
tangani Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia. Akan tetapi
pada tahun 1979 pihak Malaysia membuat peta baru mengenai tapal batas
kontinental dan maritime yang secara sepihak membuat perbatasan maritimnya
sendiri dengan memasukan blok maritim Ambalat ke dalam wilayahnya yaitu dengan
memajukan koordinat 4° 10' arah utara melewati Pulau Sebatik. Indonesia memprotes dan menyatakan tidak
mengakui klaim itu, merujuk pada Perjanjian Tapal Batas Kontinental
Indonesia - Malaysia tahun 1969 dan Persetujuan Tapal batas Laut
Indonesia dan Malaysia tahun 1970.
Indonesia melihatnya
sebagai usaha secara terus-menerus dari pihak Malaysia untuk melakukan ekspansi terhadap wilayah
Indonesia. Kasus ini meningkat profilnya setelah Pulau Sipadan dan Ligitan, juga berada di blok Ambalat, dinyatakan
sebagai bagian dariMalaysia oleh Mahkamah Internasional.
Batas wilayah antara
Indonesia dan Malaysia ditarik dari dekat Singapura dan berakhir di dekat Pulau
Batu Mandi di Selat Malaka. Artinya tidak ada batas perairan yang berupa batas
laut wilayah antara Malaysia dan Indonesia setelah Pulau Batu Mandi ke arah
Barat Laut di Selat Malaka. Yang ada hanyalah batas landas kontinen yang
ditetapkan pada tahun 1969. Batas landas kontinen, sesuai dengan hukum laut
internasional, merupakan batas yang memisahkan dasar laut dua atau lebih
negara. Batas landas kontinen tersebut tidak mengatur batas tubuh air. Sehingga
secara umum, batas landas kontinen ini berlaku dalam hal pengelolaan lapisan di
bawah laut (dasar laut) yang biasanya digunakan untuk pertambangan lepas pantai
(off shore).
Masalah yang sering
terjadi :
Penentuan batas maritim
Indonesia-Malaysia di beberapa bagian wilayah perairan Selat Malaka masih belum
disepakati ke dua negara. Ketidakjelasan batas maritim tersebut sering
menimbulkan friksi di lapangan antara petugas lapangan dan nelayan Indonesia
dengan pihak Malaysia.
Demikian pula dengan
perbatasan darat di Kalimantan, beberapa titik batas belum tuntas disepakati
oleh kedua belah pihak. Permasalahan lain antar kedua negara adalah masalah
pelintas batas, penebangan kayu ilegal, dan penyelundupan. Forum General Border
Committee (GBC) dan Joint Indonesia Malaysia Boundary Committee (JIMBC),
merupakan badan formal bilateral dalam menyelesaikan masalah perbatasan kedua
negara yang dapat dioptimalkan.
2. Indonesia-Singapura
Batas wilayah laut
antara Indonesia dan Singapura ditentukan atas dasar hukum internasional.
Perjanjian ini didasari atas Konvensi PBB Tentang batas wilayah laut (The
United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) pada 1982. Kedua negara
juga turut meratifikasi UNCLOS. Ratifikasi dari batas wilayah laut yang
disetujui ini merupakan kelanjutan dari perjanjian batas wilayah laut yang
sebelumnya telah disetujui oleh kedua negara sebelumnya pada 25 Mei 1973.
Sementara perjanjian terbaru yang diratifikasi, mempertegas batas wilayah laut
dari Pulau Nipa hingga Pulau Karimun Besar. Sedangkan pada sebelah barat, pihak
keamanan dan petugas navigasi dari kedua negara dapat melaksanakan tugas mereka
secara signifikan tanpa ada gangguan di wilayah Selat Singapura.
Perjanjian ini akan
menentukan dasar hukum bagi petugas berwenang kedua negara dalam menjaga
keamanan, keselamatan navigasi, penegakan hukum dan pengamanan atas zona
maritim berdasarkan hukum yang berlaku. Indonesia dan Singapura masih harus
menyelesaikan masalah perbatasan mereka di wilayah timur antara Batam dan
Changi dan lokasi diantara Bintan serta South Ledge, Middle Rock dan Batu
Puteh. Penyelesaian batas wilayah timur ini masih menunggu negosiasi antara
Singapura dan Malaysia yang masih harus dilakukan usai Pengadilan Internasional
memerintahkan Singapura dan Malaysia untuk melakukan perundingan pada 2008
lalu.
Masalah
yang sering terjadi :
Penambangan pasir laut
di perairan sekitar Kepulauan Riau yakni wilayah yang berbatasan langsung
dengan Sinagpura, telah berlangsung sejak tahun 1970. Kegiatan tersebut telah
mengeruk jutaan ton pasir setiap hari dan mengakibatkan kerusakan ekosistem
pesisir pantai yang cukup parah. Selain itu mata pencaharian nelayan yang semula
menyandarkan hidupnya di laut, terganggu oleh akibat penambangan pasir laut.
Kerusakan ekosistem yang diakibatkan oleh penambangan pasir laut telah
menghilangkan sejumlah mata pencaharian para nelayan.
Penambangan pasir laut
juga mengancam keberadaan sejumlah pulau kecil karena dapat menenggelamkannya,
misalnya kasus Pulau Nipah. Tenggelamnya pulau-pulau kecil tersebut menimbulkan
kerugian besar bagi Indonesia, karena dengan perubahan pada kondisi geografis
pantai akan berdampak pada penentuan batas maritim dengan Singapura di kemudian
hari.
3. Indonesia-Filipina
Proses perundingan batas
maritim RI – Filipina yang dilakukan sampai dengan tahun 2007 telah mencapai
kemajuan yang signifikan dengan dihasilkannya kesepakatan atas garis batas
diantara kedua Tim Teknis Perunding. Saat ini proses perundingan masih tertunda
karena persoalan internal di pihak Filipina, yaitu dikeluarkannya Republic Act
No. 9522 bulan Maret 2009, yang berisikan perubahan dari penetapan titik-titik
dasar garis pangkal (baseline) negara kepulauan Filipina, yang sebelumnya
ditetapkan dalam Republic Act No. 3046 tahun 1961 dan Republic Act No. 5446
tahun 1968. Pada kesempatan pertemuan bilateral tingkat kepala negara antara
RI-Filipina yang diselenggarakan pada tanggal 8 Maret 2011, Menteri Luar Negeri
kedua negara telah menandatangani Joint Declaration between the Republic of
Indonesia and the Republic of the Philippines concerning Maritime Boundary
Delimitation, yang intinya:
- Mempercepat proses
penyelesaikan penetapan batas maritim RI-Filipina sesuai dengan ketentuan
UNCLOS 1982;
- Menginstruksikan Tim
Teknis Bersama Penetapan Batas Maritim antara Republik Indonesia dan Republik
Filipina untuk bertemu dalam waktu yang secepat mungkin
Masalah yang sering
terjadi :
Belum adanya kesepakatan
tentang batas maritim antara Indonesia dengan Filipina di perairan utara dan
selatan Pulau Miangas, menjadi salah satu isu yang harus dicermati. Forum
RI-Filipina yakni Joint Border Committee (JBC) dan Joint Commission for
Bilateral Cooperation (JCBC) yang memiliki agenda sidang secara berkala, dapat
dioptimalkan menjembatani permasalahan perbatasan kedua negara secara
bilateral.
4. Indonesia-Thailand
Batas Landas Kontinen
telah diselesaikan. penetapan garis batas landas kontinen kedua negara terletak
di Selat Malaka dan laut Andaman. Perjanjian ini ditandatangai tanggal 17
Desember 1971, dan berlaku mulai 7 April 1972. Sedangkan untuk batas ZEE masih
dirundingkan. Pertemuan penjajagan awal telah dilaksanakan tanggal 25
Agustus 2010 di Bangkok. Thailand masih memerlukan konsultasi dengan parlemen
untuk berunding.
Masalah yang sering
terjadi :
Ditinjau dari segi
geografis, kemungkinan timbulnya masalah perbatasan antara RI dengan Thailand
tidak begitu kompleks, karena jarak antara ujung pulau Sumatera dengan Thailand
cukup jauh, RI-Thailand sudah memiliki perjanjian Landas Kontinen yang terletak
di dua titik koordinat tertentu di kawasan perairan Selat Malaka bagian utara
dan Laut Andaman. Penangkapan ikan oleh nelayan Thailand yang mencapai wilayah
perairan Indonesia, merupakan masalah keamanan di laut. Di samping itu,
penangkapan ikan oleh nelayan asing merupakan masalah sosio-ekonomi karena
keberadaan masyarakat pantai Indonesia.
5. Indonesia-Vietnam
Indonesia dan Viet Nam
telah menyelesaikan perjanjian batas Landas Kontinen pada tahun 2003. Batas
landas kontinen antara Indonesia – Vietnam ditarik dari pulau besar ke pulau
besar (main land to main land). Dalam perjanjian tersebut Indonesia berhasil
meyakinkan Vietnam untuk menggunakan dasar Konvensi Laut UNCLOS 1982. Dengan
demikian prinsip Indonesia sebagai negara Kepulauan telah terakomodasi.
Permasalahan batas maritim antara Indonesia dan Viet Nam yang masih harus
dirundingkan adalah penetapan garis batas ZEE. Pertemuan pertama untuk membahas
garis batas ZEE telah dilangsungkan pada bulan Mei 2010 di Hanoi dan telah
dilanjutkan pada pertemuan terakhir bulan Juli 2011 di Hanoi. Kedua negara kini
tengah menjajaki untuk mempelajari proposal garis batas ZEE masing-masing.
Masalah yang sering
terjadi :
Wilayah perbatasan
antara Pulau Sekatung di Kepulauan Natuna dan Pulau Condore di Vietnam yang
berjarak tidak lebih dari 245 mil, memiliki kontur landas kontinen tanpa batas
benua, masih menimbulkan perbedaan pemahaman di antara ke dua negara. Pada saat
ini kedua belah pihak sedang melanjutkan perundingan guna menentukan batas
landas kontinen di kawasan tersebut.
6. Indonesia-Australia
Perairan antara
Indonesia dengan Australia meliputi wilayah yang sangat luas, terbentang
lebih kurang 2.100 mil laut dari selat Torres sampai perairan P.Chrismas.
Perjanjian perbatasan maritim antara Indonesia dengan Australia yang telah
ditentukan dan disepakati, menjadi sesuatu yang menarik untuk dipelajari perkembangannya,
karena perjanjian tersebut dilaksanakan baik sebelum berlakunya UNCLOS ’82
(menggunakan Konvensi Genewa 1958) maupun sesudahnya. Perjanjian yang telah
ditetapkan juga menarik karena adanya negara Timor Leste yang telah merdeka
sehingga ada perjanjian (Timor Gap Treaty) yang menjadi batal dan batas-batas
laut yang ada harus dirundingkan kembali secara trilateral antara RI – Timor
Leste – Australia.
Secara Garis besar
perjanjian batas maritim Indonesia – Australia dibagi menjadi 3 (tiga) bagian,
yaitu :
· Perjanjian
perbatasan pada tanggal 18 Mei 1971 mengenai Batas Landas Kontinen di wilayah
perairan selatan Papua dan Laut Arafura.
· Perjanjian
perbatasan pada tanggal 9 Oktober 1972 mengenai Batas Landas Kontinen di
wilayah Laut Timor dan Laut Arafura.
· Perjanjian
perbatasan maritim pada tanggal 14 Maret 1997 yang meliputi ZEE dan Batas
Landas Kontinen Indonesia Australia dari perairan selatan P.Jawa termasuk
perbatasan maritim di P.Ashmore dan P.Chrismas.
Pada tanggal 9 September
1989 telah disetujui pembagian Timor Gap yang dibagi menjadi 3 area (A,B dan C)
dalam suatu Zone yang disebut ”Zone Of Cooperation”. Perjanjian Timor Gab ini
berlaku efektif mulai tanggal 9 Februari 1991, perjanjian ini juga tidak
membatalkan perjanjian yang sudah ada sebelumnya, namun dengan merdekanya Timor
Leste maka perjanjian ini secara otomatis menjadi batal.
Masalah yang sering
terjadi :
Perjanjian perbatasan
RI-Australia yang meliputi perjanjian batas landas kontinen dan batas Zona
Ekonomi Ekslusif (ZEE) mengacu pada Perjanjian RI-Australia yang ditandatangani
pada tanggal 14 Maret 1997. Penentuan batas yang baru RI-Australia, di sekitar
wilayah Celah Timor perlu dibicarakan secara trilateral bersama Timor Leste.
7. Indonesia-India
Garis Batas Landas
Kontinen Indonesia dan India adalah garis lurus yang ditarik dari titik
pertemuan menuju arah barat daya yang berada di Laut Andaman. Hal itu
berdasarkan persetujuan pada 14 Januari 1977 di New Delhi, tentang perjanjian
garis batas Landas Kontinen kedua negara. Namun, pada beberapa wilayah batas
laut kedua negara masih belum ada kesepakatan.
Masalah yang sering
terjadi :
Perbatasan kedua negara
terletak antara pulau Rondo di Aceh dan pulau Nicobar di India. Batas
maritim dengan landas kontinen yang terletak pada titik-titik koordinat
tertentu di kawasan perairan Samudera Hindia dan Laut Andaman, sudah disepakati
oleh kedua negara. Namun permasalahan di antara kedua negara masih timbul
karena sering terjadi pelanggaran wilayah oleh kedua belah pihak, terutama yang
dilakukan para nelayan.
8. Indonesia-Papua
Nugini
Batas darat Indonesia
dan Papua New Guinea didasarkan pada perjanjian Indonesia dan Australia
mengenai garis-garis batas Indonesia dan Papua Nugini.Ditandatangani pada
Tanggal 12 Februari 1973 di Jakarta. Pemerintah selanjutnya meratifikasi
perjanjian tersebut dengan membentuk Undang-undang Nomor 6 tahun 1973. Namun
sampai saat ini perjanjian bilateral tersebut belum menjadi landasan legal bagi
survey dan demarkasi batas darat antara kedua negara. Sebagai bagian dari
perjanjian bilateral 1973, telah didirikan 14 pilar MM di sepanjang perbatasan
Indonesia dan Papua Nugini. Titik-titik tersebut ada di 141° Bujur Timur, mulai
dari pilar MM1 sampai dengan MM10. Selanjutnya mulai dari pilar MM11 sampai
dengan pilar MM14 berada pada meridian 141° 01’ 10". Pilar MM10 dan MM11
batas kedua negara mengikuti Thalweg dari sungai Fly. Selain ke 14 pilar MM,
antara tahun 1983- 1991, sesuai amanat Pasal 9 Perjanjian 1973 antara Indonesia
dengan Papua Nugini, telah didirikan 38 Pilar MM baru. Sehingga sampai saat ini
telah berdiri 52 pilar MM di sepanjang garis perbatasan. Penambahan 38 pilar MM
baru tersebut saat ini masih tertuang dalam Deklarasi Bersama (Joint
declaration) yang ditandatangani oleh otoritas survey and mapping kedua
pemerintahan.
Masalah yang sering
terjadi :
Indonesia dan PNG telah
menyepakati batas-batas wilayah darat dan maritim. Meskipun demikian, ada
beberapa kendala kultur yang dapat menyebabkan timbulnya salah pengertian.
Persamaan budaya dan ikatan kekeluargaan antar penduduk yang terdapat di kedua
sisi perbatasan, menyebabkan klaim terhadap hak-hak tradisional dapat
berkembang menjadi masalah kompleks di kemudian hari.
9. Indonesia-Timor
Leste
Berdirinya negara Timor
Leste sebagai negara merdeka, menyebabkan terbentuknya perbatasan baru antara
Indonesia dengan negara tersebut. Perundingan penentuan batas darat dan laut
antara RI dan Timor Leste telah dilakukan dan masih berlangsung sampai
sekarang.
First Meeting Joint
Border Committee Indonesia-Timor Leste dilaksanakan pada 18-19 Desember
2002 di Jakarta. Pada tahap ini disepakati penentuan batas darat berupa
deliniasi dan demarkasi, yang dilanjutkan dengan perundingan penentuan batas
maritim. Kemudian perundingan Joint Border Committee kedua
diselenggarakan di Dilli, pada Juli 2003.
Masalah yang sering
terjadi :
Saat ini sejumlah
masyarakat Timor Leste yang berada diperbatasan masih menggunakan mata uang
rupiah, bahasa Indonesia, serta berinteraksi secara sosial
dan budaya dengan masyarakat Indonesia. Persamaan budaya dan
ikatan kekeluargaan antarwarga desa yang terdapat di kedua sisi
perbatasan, dapat menyebabkan klaim terhadap hak-hak tradisional,
dapat berkembang menjadi masalah yang lebih kompleks. Disamping itu,
keberadaan pengungsi Timor Leste yang masih berada di wilayah Indonesia dalam
jumlah yang cukup besar potensial menjadi permasalahan perbatasan di
kemudian hari.
10. Indonesia-Republik
Palau
Republik Palau berada di
sebelah Timur Laut Indonesia. Secara geografis negara itu terletak di 060. 51”
LU dan 1350.50” BT. Mereka adalah negara kepulauan dengan luas daratan ±
500 km2.
Berdasarkan konstitusi
1979, Republik Palau memiliki yuridiksi dan kedaulatan pada perairan pedalaman
dan Laut Teritorial-nya hingga 200 mil laut. Diukur dari garis pangkal lurus
kepulauan yang mengelilingi kepulauan.
Masalah yang sering
terjadi :
Palau memiliki Zona
Perikanan yang diperluas (Extended Fishery Zone) hingga berbatasan dengan Zona
Perikanan Eksklusif, yang lebarnya 200 mil laut diukur dari garis pangkal. Hal
itu menyebabkan tumpang tindih antara ZEE Indonesia dengan Zona Perikanan yang
diperluas Republik Palau. Sehingga, perlu dilakukan perundingan antara kedua
negara agar terjadi kesepakatan mengenai garis batas ZEE.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar